Arimbi tak pernah mengenal mama-papanya begitu sebaliknya. Kekayaan orangtuanya bukanlah kebahagiaannya. Papanya tukang selingkuh dan sering memukul mama. Mamanya hanya seorang istri yang pasrah menerima pukulan demi pukulan dari sang suami. Lama-lama rasa kasian Arimbi pada mamanya berubah menjadi perasaan muak, mamanya seorang istri yang bodoh. Setelah puas dipukuli, mamanya akan kembali tertawa riang dengan gelimang berlian, tebusan rasa bersalah sang papa. Rasa muaknya pun bertambah, tak kala mamanya pun ikutan selingkuh dengan pria muda. Orangtuanya tak pernah datang padanya untuk sekedar bertanya, nyamankah ia dengan kondisi rumah yang demikian.
Hingga akhirnya, dengan kesadaran penuh Arimbi mendekati narkoba. Ya, bukan narkoba yang mendekatinya tapi ia yang mencari. Baginya, narkoba merupakan suatu perantara antara ia dan tujuan hidupnya di seberang lautan sana. Narkoba adalah malaikatnya. Dari narkoba, Arimbi juga menemukan cintanya, Vela.
Buku Jangan Beri Aku Narkoba memang buku lama, gue membelinya taon 2005. Tapi ga pernah bosan gue ngebacanya. Bahasa yang digunakan seorang Alberthiene Endah seakan ngebawa gue larut dalam alur cerita novel ini. Satu hal yang sangat menarik dari buku ini, banyak orang berusaha menyembuhkan luka seseorang hanya di kulitnya saja. Mereka tak pernah mencari “pencetus” luka tsb. Ketika luka itu sembuh, tergores kembali dan menganga lagi. Begitu terus-menerus. Hingga akhirnya korban sudah merasa capek dengan segala penyembuhannya.
Saya sudah muak dan capek. Siapa yang harus saya caci, dan siapa yang harus saya bela? -Arimbi, Jangan Beri Aku Narkoba
Kunjungan pertama. . . Salam kenal ;-)